[Book Review] Mau Jadi Apa?: Memoar si Macan Kampus (Soleh Solihun, 2017)

Pada suatu Rabu, saya pergi ke Gramedia. Niatnya pengen beli bukunya Gita Savitri yang Rentang Kisah itu. Alasan saya pengen buku itu karena saya suka penulisnya. Cantik aja gitu. Adem aja gitu liat wajahnya di Youtube. Ini baru pertama kalinya saya pengen beli buku karena penulisnya cantik. Saya pun gak berharap apa-apa sama bukunya itu. Cuman pengen aja punya buku yang ditulis sama cewek cantik. Soalnya kan buku-buku di kamar saya selama ini ga ada yang ditulis sama orang yang cantik. Kebanyakan buku-buku yang ditulis sama cowok. Pas beli yang penulisnya cewek palingan semacam Dee atau Ayu Utami, kan udah emak-emak. Rowling juga (ga punya bukunya deng, PDF doang, bajakan). Gak cantik lah kalau menurut standar saya mah. Nah, Gita Savitri Devi ini beda. Cantik, pinter, solehah. Paket lengkap buat dilamar gitu.

Kan udah saya cek tuh di website Gramedia. Buku si Gita itu ada di katalognya. Tapi saya gak tau stoknya ada apa engga. Liatnya juga sekilas doang sih. Dengan target yang sudah jelas, saya pergi ke tokonya yang di Jl. Merdeka Bandung. Memang sih saya lebih suka beli langsung ke toko daripada online. Soalnya bisa sekalian sambil jalan-jalan. Nah, ternyata eh ternyata setelah muter-muter toko, sampai ke area buku agama malah, gak nemu tuh bukunya si Gita. Waktu itu saya ngerasa kecewa. Ibaratnya udah janjian sama cewek, eh ceweknya gak dateng. Kan dongkol. Mau nanya ke mbak yang di meja inforamsi, sayanya malu. Di kepala saya suudzonnya nanti si mbak heran “kok brewokan nyarinya buku Gita Savitri sih?”. Jadi, ya udah saya beli buku yang lain aja. Akhirnya saya muter-muter lagi.

Singkat cerita, saya berhenti di area self-improvement. Ada #sharing dari Handry Satriago yang akhirnya saya beli. Saya memang suka sama si bapak ini. Karena saya sudah punya #sharing 2 maka saya beli buku itu. Biar lengkap. Harapannya sih semoga saya bisa dapet sesuatu yang bisa dipelajari. Nah, gak jauh dari tempat #sharing bertengger, ada bukunya si Soleh Solihun sang stand-up comedian yang bakalan saya ulas sekarang. Yang saya heran, kok bisa ini buku masuk area self-improvement? Apa iya bukunya Soleh bisa ngimprove diri saya? Jangan-jangan mas yang jaga tokonya salah nyimpen nih.

Saya pernah membaca blognya Soleh, dan saya menikmatinya. Saya juga suka itu nonton The Soleh Solihun Interview di Youtube. Konon, Soleh pernah nulis buku juga sebelum yang ini, judulnya Majelis Tidak Alim dan Kastana Taklukan Jakarta (itu yang ditulis di Bab Tentang Penulis, kalau di Goodreads sih ada enam buku yang sudah pernah ditulis Soleh). Menurutku, buku adalah sesuatu yang sakral. Gak mudah untuk nulis buku. Apabila seorang Soleh Solihun yang mantan wartawan musik dan sudah terbilang cukup rajin nulis, saya berasumsi tulisan yang ada dalam bukunya punya nilai lebih dari apa yang pernah saya baca di blognya. Terlebih ini bukan buku pertamanya Soleh, buku-buku sebelumnya saya belum baca, tau aja enggak. So, saya membelinya. Kalaupun bukunya tidak ngimprove saya, setidaknya mungkin bisa bikin saya tertawa mengingat dia adalah seorang komedian.

Niat pengen punya buku yang penulisnya cantik, malah beli buku yang penulisnya gak ada cantiknya sama sekali. Ganteng juga enggak. Saya yakin banget kalau saya lebih ganteng dari si Soleh.

Setelah pulang ke rumah dan saya buka plastiknya, ternyata buku ini masuk kategori biografi (saya liat tulisan BIOGRAFI di atas barcode). Kok gak disimpen di area biografi aja ya? Mungkin nama Soleh dianggap belum mumpuni kalau harus bersanding dengan buku-buku biografi tokoh dunia semacam Elon Musk atau Stphen Hawking. Padahal mah biarin aja atuh da sama-sama biografi. Sama-sama manusia. Heran aja, karena menurut saya untuk toko buku sebesar Gramedia, nyimpen buku yang sesuai dengan jenisnya itu kan sesuatu yang elementer untuk display di dalem tokonya, biar orang gampang kalau nyari buku. Ya udah deh, kok saya malah ngritik Gramedia? Saya mulai bahas aja bukunya.

Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah sampul bukunya. Emang sih ini buku ternyata memang dibikin sebagai “appetizer” untuk filmnya. Tapi gak perlu juga mereun covernya itu jadi gambar seperti poster film. Saya selalu gak suka buku (biasanya novel yang akhirnya difilmkan) yang sampulnya itu jadi kayak poster film. Apalagi tokohnya teh jadi gambar aktornya tea gening. Duh ngerusak pisan. Kayak buku Madre-nya Dee yang akhirnya jadi ada wajah Vino G. Bastian. Atau Inferno-nya Dan Brown yang ada Tom Hanks-nya. Ih anjir, norak aja gitu. Merusak imajinasi. Penulis itu udah susah-susah mendeskripsikan karakternya kayak apa. Eh, malah dihancurkan dengan citra-citra aktor yang menurut saya selalu aja gak pas dengan karakter asli di bukunya. Menurut saya mah, biarlah novel diperlakukan sebagai novel dan film sebagai film. Atau, mungkin ini sebagai strategi marketing juga. Saya gak ngerti lah.

Untungnya, ini biografi Soleh Solihun dan filmnya juga diperankan sama Soleh Solihun. Jadi gambar sampulnya gak ada perusakan citra pada isi bukunya. Coba kalau diperankan sama Nicholas Saputra. Pastilah kacau. Untungnya juga ternyata sampul “poster film”-nya bisa dilepas. Maka, terlihatlah itu sampul aslinya. Yang sumpah! lebih keren dari sampul poster film itu. Agak-agakĀ psychedelic gitu. Akhirnya saya memutuskan untuk dilepas aja itu sampul poster filmnya. Norak.

Jadi buku ini tuh ibaratnya gini, saya nelpon Soleh untuk dateng ke rumah terus saya bilang gini, “Leh, ceritain dong kisah hidup lo pas jaman kuliah”. Lalu Soleh nyeritain gimana kisah hidupnya dari awal persiapan masuk kuliah sampai dia lulus dan akhirnya kerja di media. Gitu doang udah. Intinya cuman gitu doang. Kalau dipikir-pikir emang hidupnya Soleh itu biasa aja sih sebenernya. Tipikal mahasiswa lieur yang aktif dan populer di kampus. Saya kenal beberapa kawan yang seperti ini. Kalau kawan saya itu minimal seterkenal Soleh, saya yakin kawan saya juga bisa bikin buku biografi kayak gini. Eh, kalau dia pinter nulis juga deng.

Tapi eh tetapi, ga gitu juga. Mungkin, pengalaman Soleh sebagai seorang jurnalis sangat mempengaruhi gaya penulisannya. Ini yang menurut saya gak bisa ditiru sama sembarang orang. Apalagi dia itu bukan jurnalis politik yang ngeliput hal-hal membosankan. Dia jurnalis hiburan. Jadi rada asoy. Ada nuansa observatif yang bisa menggambarkan suasana di tiap-tiap kisahnya. Seperti saat dia menjabarkan tipe-tipe kos-kosan dan tipe-tipe mahasiswa. Gak ngebosenin juga, karena dia memang pintar meramu komedi yang disisipkan dalam kisah-kisah hidupnya. Beberapa kali saya mengumpat sambil tertawa “Anjing! Kumaha maneh we, Soleh!”, karena memang lucu. Selain itu, kisah kampus adalah kisah semua mahasiswa. Jadi referensi pembaca yang pernah jadi mahasiswa seperti saya bisa mirip-mirip. Ada click-nya gitu. Itu menurut saya yang bisa bikin saya tertawa. Soleh juga konsisten dalam menuliskan nama teman-temannya dengan nama lengkap. Walaupun ada beberapa nama yang dia lupa nama lengkapnya. Kalau saya jadi temannya Soleh, sudah pasti saya seneng kalau ada nama saya disebut, apalagi kalau kisah saya yang menarik diabadikan dalam buku. Sampai nama mantan dan gebetan-gebetan juga disebut. Jujur. Itu yang saya rasakan. Sejujur kisah Soleh yang mimpi basah waktu ospek.

Overall, menurut saya buku ini ringan. Seperti chiki. Bisa dinikmati kala santai. Apalagi jika kamu-kamu sudah bosan dan mumet setelah baca biografi Mahatma Gandhi dan Karl Marx, otobiografi Soleh ini adalah penyegar. Mungkin bisa ditonton juga filmnya sebagai suplemen kebahagiaan. Filmnya sudah tayang di 30 November. Kalau saya sih udah nonton, trailernya doang.

MAU JADI APA?
Cetakan pertama, September 2017
Penerbit: B First (PT. Bentang Pustaka)
Jumlah halaman: viii + 316 halaman
Ukuran: 13 X 20.5 cm
Harga: Rp. 79,000